Shalat Idul Fitri di Rumah, Ikuti Pemerintah Pusat

Peningkatan kasus wabah Covid-19 di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Peran masyarakat dibutuhkan, untuk dapat bersama-sama memutus mata rantai penularan Covid-19.

Tak terkecuali komunitas salafy di berbagai daerah di tanah air. Mereka ikut berperan aktif menjalankan imbauan pemerintah. Sejak awal penyebaran Covid-19, awal Maret lalu. Bahkan, ada yang sampai sekarang masih konsisten menjalankan karantina kompleks pesantren secara ketat. Semisal, Ponpes Imam Mujaddid as-Syafii, Indramayu.

Ponpes Salafy lainnya di penjuru tanah air, juga dengan penuh kesadaran mengikuti pelbagai arahan pemerintah. Ini menunjukkan komunitas ini tertib, disiplin serta berkomitmen tinggi terhadap upaya pencegahan Covid-19.

Secara umum, komunitas salafy turut peduli melindungi dan menyelamatkan Indonesia dari pandemi Covid-19.

Lalu, terkait pelaksanaan shalat Id di masa pandemi sekarang, bagaimana sikap komunitas salafy?

Tentu, ketaatan kepada pemerintah adalah sandaran penting dalam persoalan ini. Ponpes Salafy Imam Mujaddid as-Syafii, bahkan menyarankan dan mengajak secara khusus kepada saudara-saudaranya seluruh komunitas Salafy di Indonesia, agar melakukan shalat Idul Fitri di rumah masing-masing, tidak di masjid atau tanah lapang. Baik yang berada di zona merah maupun hijau Sebagaimana arahan Pemerintah.

Berikut kutipan ringkasan saran dan ajakan para ustadz (asatidzah) di Ponpes Imam Mujaddid as-Syafii, kepada saudara-saudaranya kaum muslimin, komunitas Salafy di seluruh tanah air :

Qaddarallah wa Ma Sya’a Fa’al, Ramadhan dan Idul Fitri 1441 H ini kaum muslimin harus melaluinya dalam suasana Pandemi Covid-19 yang terus meningkat.

Dalam situasi ini, Pemerintah RI mengimbau dengan tegas agar kaum muslimin tidak mengerjakan Shalat Idul Fitri di tanah lapang/masjid, cukup mengerjakannya di rumah saja.

Namun timbul polemik ketika ada sebagian daerah yang dinyatakan sebagai zona hijau atau Pemda setempat memperbolehkan kaum muslimin melaksanakan Shalat Idul Fitri di tanah lapang/masjid dengan memberlakukan protokol. Apakah mengikuti imbauan Pemda setempat, atau mengikuti Pemerintah Pusat?

Maka sebagai bentuk saran dan masukan kepada saudara-saudara kami salafiyyin, kami menyarankan sebaiknya untuk tetap tidak melaksanakan shalat Idul Fitri di tanah lapang/masjid, dan sebaiknya mengerjakannya di rumah, meskipun wilayahnya termasuk zona hijau atau diperbolehkan oleh Pemda setempat.

Hal ini karena alasan-alasan berikut:

  • Sebelum Ramadhan (6 April) Kemenag RI telah mengeluarkan imbauan terkait pelaksanaan shalat Idul Fitri di tengah Pandemi Wabah Covid-19, bahwa shalat Idul Fitri yang lazimnya dilaksanakan secara berjamaah, baik di masjid atau di lapangan ditiadakan.
  • Pada kesempatan itu pula, pihak kemenag meminta MUI untuk menerbitkan fatwa menjelang waktunya. Dalam keadaan jumlah kasus positif Covid-19 nasional pada hari-hari itu baru berkisar 2.500-an dengan trend pertambahan kasus sekitar 200-an dalam sehari. Menjelang Ramadhan (23 April), data berkisar 7.700-an, dengan pertambahan kasus sekitar 350-an dalam sehari.
  • Permintaan Pemerintah tersebut direspon oleh MUI. Pada tanggal 10 Mei pihak MUI telah meminta kepada pemerintah tentang keterangan situasi terakhir status Covid di Indonesia.
  • Wapres pada 12 Mei memberikan arahan bahwa jika Covid masih berlangsung, maka shalat id di masjid atau lapangan tidak diselenggarakan. Kenyataan, hingga hari-hari ini menjelang hari raya Covid-19 masih berlangsung, bahkan terus meningkat.
  • Sejak 13 April pertambahan kasus per hari berkisar pada angka, 680-an, 560-an, hingga pada 20 April, 693 kasus. Hari ini (21/5) kasus mencapai 20.162, dengan pertambahan kasus 973.
  • Tanggal 13 Mei, terbit Fatwa MUI tentang Shalat Idul Fitri di masa Pandemi. Dengan kriteria kapan masih boleh berjamaah di masjid/tanah lapang, dan kapan harus di rumah.
  • Pada tanggal yang sama, Kemenag melaui Dirjen Binmas Islam menyatakan: mengimbau kaum muslimin untuk shalat Id di rumah. Dan menyatakan bahwa imbauan ini berlaku umum, baik zona merah maupun zona hijau. Dirjen Binmas menyatakan bahwa imbauan ini sebagai sikap Kemenag RI, Rabu (13/5/2020).
    Berikut kutipannya:
    Kementerian Agama masih tetap mengimbau untuk salat Id di rumah saja bersama keluarga atau sendiri bagi mereka yang sendiri, tidak dilaksanakan di tempat ibadah atau juga di lapangan karena intinya bukan di masjidnya atau di mananya, tapi berkumpulnya itu, karena data menunjukkan bahwa tren COVID-19 ini belum selesai.
    Imbauan ini berlaku umum untuk seluruh masyarakat Indonesia baik yang berada di zona merah hingga hijau. Imbauan ini berlaku umum karena ada orang yang positif COVID-19 tapi tidak memiliki gejala, sehingga hal tersebut harus menjadi kewaspadaan.
  • Rapat Terbatas Presiden RI dengan Gubernur se-Indonesia, dihadiri pula para menteri (18/5). Dalam kesempatan itu, Pemerintah pusat tidak menyetujui kebijakan beberapa pemrov/pemda yang mengizinkan shalat id di masjid/lapangan. Maka tercatat beberapa pemrov/pemda mencabut kebijakannya.
  • Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Pusat juga tidak sependapat ketika masih ada Pemda yang mengizinkan Shalat Id di tanah lapang/masjid, (18/5). Karena hal itu berpotensi menjadi sarana penularan Covid-19.
  • Pemerintah, melalui Menko Polhukam menegaskan Shalat Idul Fitri di Masjid dan Lapangan Dilarang Sesuai Permenkes. (yaitu Permenkes ttg PSBB), (19/5).
  • Kenyataan di Indonesia Covid-19 memang masih belum mereda.
    Menjelang Ramadhan (23/4), data berkisar 7.700-an, dengan pertambahan kasus sekitar 350-an dalam sehari.
    Hari ini (21/5) kasus mencapai 20.162, dengan pertambahan kasus 973.
  • Daerah yang dianggap zona hijau pun juga tidak aman dari kemungkinan terjadinya penularan. Terlebih shalat id di tanah lapang atau di masjid pasti membuat kerumunan dalam jumlah besar, walaupun dalam bentuk shalat id yang dibatasi pesertanya. Belum lagi kedisiplinan dan kesadaran masyarakat dalam menerapkan protokol masih sangat sering terjadi kelalaian dan pelanggaran.
  • Arus mudik yang cukup besar, termasuk para pemudik yang datang dari zona merah. Maka ini tentu sangat berbahaya, yaitu ketika para pemudik tersebut berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat di kampungnya. Ini bisa terjadi di daerah zona hijau sekalipun. Kenyataan ini diperumit dengan kondisi mayoritas masyarakat yang abai dan lalai, serta seakan tidak mempedulikan berbagai protokol yang ada. Pasar dan ruang publik lainnya tetap ramai, tanpa ada jaga jarak, tanpa masker, … dst. Maka potensi penularan tetap besar, bahkan di zona hijau sekalipun.
  • Daerah dinyatakan berstatus zona hijau, bisa jadi disebabkan karena faktor:
  1. kemampuan melakukan tes yang kurang memadai, sehingga data yang masuk belum mewakili kenyataan yang sebenarnya.
  2. atau bisa juga disebabkan kendala “ego sektoral”, yakni masing-masing pihak/lembaga tidak mau melapor kecuali pada struktur di atasnya, sehingga menghambat pelaporan. Hal ini sebagaimana dikeluhkan oleh Ketua Gugus Tugas Pusat.
  3. atau karena faktor-faktor lainnya.
    Bagaimana jika di daerah yang dianggap zona hijau tersebut terjadi seperti pada poin di atas (sebelum poin terakhir ini)?

Atas dasar poin-poin di atas, maka kami ingin menyumbang saran bahwa sebaiknya komunitas salafy mengikuti imbauan pemerintah pusat untuk tidak melaksanan shalat Id di masjid atau tanah lapang, dan mengerjakannya di rumah.

Imbauan pemerintah pusat ini Insyaallah lebih tepat dan lebih dekat dengan upaya pencegahan yang dianjurkan dalam dalil-dalil syari. (red)

Dikutip dari situs : https://www.tanggapcovid19.com/

Dengan perubahan sedikit pada isi.