Aqidah Dua Mujaddid Dalam Islam

Mujaddid adalah seorang yang menjadi sebab kembalinya kaum muslimin kepada al-haq dan meninggikan bendera Islam. Seorang dianggap mujaddid disyaratkan seorang Ahlus Sunnah yang shalih dan berilmu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan akan adanya para mujaddid dalam Islam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا

“Allah mengutus untuk umat ini di setiap pengujung seratus tahun seorang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud no. 4291, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani)

Di antara mujaddid dalam Islam adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan bagi manusia,setiap seratus tahunnya ada seorang yang mengajari mereka As-Sunnah dan menafikan kedustaan atas nama Rasul. Kami pun menelaah, ternyata di pengujung seratus tahun adalah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, dan di pengujung tahun dua ratus adalah Asy-Syafi’i rahimahullah.”

Al-Imam Ahmad rahimahullah juga berkata, “Sejak 30 tahun lalu, tidaklah aku tidur malam kecuali aku mendoakan kebaikan bagi Asy-Syafi’i dan memohonkan ampunan untuknya.” (Lihat Mukhalafat Ash-Shufiyah hal. 10-11)

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Seorang mujaddid yang hakiki adalah seorang yang berilmu tentang syariat Allah subhanahu wa ta’ala, istiqamah di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengembalikan manusia kepada petunjuk. Berita yang dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini telah terbukti. Terus-menerus walhamdulillah Allah subhanahu wa ta’ala mengaruniakan kepada umat ini dengan kemunculan para mujaddid ketika umat sangat membutuhkan keberadaan mereka. Di antara para mujaddid adalah Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah di abad ketiga, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah di akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan, serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah di abad kedua belas.” (Min A’lamil Mujaddidin)

Aqidah Dua Imam

Dalam tulisan ini, penulis ingin mengetengahkan kepada para pembaca beberapa perkara aqidah dan dakwah dua orang mujaddid dalam Islam, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah serta Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Kita akan dapati ternyata aqidah dan dakwah yang dibawa keduanya sama. Dakwah dan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, yaitu dakwah kepada tauhid dan As-Sunnah berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman salafush shalih.

Sebagai bukti kesamaan aqidah dan dakwah kedua imam tersebut, penulis akan membawakan beberapa masalah dan prinsip kedua imam dalam beberapa masalah. Perlu diketahui, apa yang kami paparkan hanyalah sebagian kecil dari sekian persamaan prinsip kedua imam ini. Di antara masalah tersebut:

1. Mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah

Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan kita hanyalah untuk kita beribadah kepadaNya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Ibnu Katsir t berkata, “Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanyalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan itu adalah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Ibadah tidak akan diterima kecuali dengan dua syarat: Ikhlas hanya mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala dan mutaba’ah (sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam tafsir surat Al Kahfi: 110)

Oleh karena itu, ulama Ahlus Sunnah di antaranya Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sangat mementingkan masalah ini. Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan sanadnya, kata beliau, “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya dan aku telah mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyan dan Malik serta selain keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah subhanahu wa ta’ala dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan-Nya. Bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah subhanahu wa ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya. (Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah)

Masalah inilah yang banyak dibahas oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah. Bukti akan hal ini adalah buku-buku yang beliau tulis, seperti Kitabut Tauhid, Kasyfu Asy-Syubuhat, Qawa’idul Arba’, dan lainnya.

Larangan Membangun Kuburan

Membangun kuburan adalah perkara yang diharamkan dalam Islam.

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:

نَهَى رَسُولُ اللهِ n  أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengapur (mengecat) kuburan, duduk di atas kuburan, juga melarang membangun sesuatu di atas kuburan.” (HR. Muslim no. 970)

Membangun masjid di atas kuburan adalah perbuatan ahlul kitab. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata:

أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا

“Mereka itu, jika ada seorang yang shalih di antara mereka mati, mereka bangun di atas kuburannya sebuah masjid.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Asy-Syaukani radhiyallahu ‘anhu berkata, “Ketahuilah, kaum muslimin yang terdahulu dan akan datang, yang awal dan akhir mereka sejak zaman sahabat sampai waktu kita ini, telah sepakat bahwa meninggikan kuburan dan membangun di atasnya adalah perkara bid’ah yang telah ada larangan dan ancaman keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas para pelakunya.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku menginginkan kuburan itu tidak dibangun dan tidak dikapur (dicat), karena perbuatan seperti itu menyerupai hiasan atau kesombongan, padahal orang mati bukanlah tempat satu pun di antara dua hal tersebut. Aku tidak pernah melihat kuburan Muhajirin dan Anshar dicat.” Perawi dari Thawus berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kuburan dibangun atau dicat.”

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata: “Aku membenci dibangunnya masjid di atas kuburan.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata pula: “Aku membenci ini karena Sunnah Rasulullah dan atsar…” (Lihat Al-Umm)

Asy-Syaikh Sulaiman Alu Asy-Syaikh menerangkan: “Al-Imam Nawawi rahimahullah menegaskan dalam Majmu’ Al-Muhadzdzab tentang haramnya membangun kuburan secara mutlak. Beliau juga menyebutkan yang semisalnya dalam Syarah Shahih Muslim.” (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah juga banyak membahas masalah ini di dalam karya-karya beliau. Di antaranya dalam Kitabut Tauhid beliau bawakan Bab Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan menjadikannya berhala yang disembah selain Allah. Beliau bawakan beberapa dalil, di antaranya hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ، اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ

”Ya Allah, jangan kau jadikan kuburanku menjadi berhala yang disembah, sangat keras murka Allah kepada orang-orang yang menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid.”

Asy-Syaikh Sulaiman berkata: “Penulis (yakni Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah ) ingin menerangkan dengan bab ini empat perkara: Pertama: Peringatan agar tidak bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap kuburan orang shalih. Kedua: Ghuluw terhadap kuburan orang shalih akan mengatarkan kepada menyembah kuburan tersebut. Ketiga: Kuburan yang disembah akan menjadi berhala, walaupun itu kuburan orang shalih. Keempat: Mengingatkan sebab larangan membangun kuburan dan menjadikannya sebagai masjid. (Lihat Taisir ‘Azizil Hamid)

Dalam Nama dan Sifat Allah

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah seperti para imam Ahlus Sunnah yang lainnya, sangatlah jelas prinsip mereka dalam menetapkan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat sebagaimana datang dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan oleh Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Dia Maha mendengar dan Maha melihat, dan memiliki dua tangan seperti dalam firman-Nya:

“Bahkan kedua tangan Allah terbuka.” (Al-Maidah: 64)

Allah subhanahu wa ta’ala memiliki tangan kanan sebagaimana dalam firman-Nya:

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Rabb dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (Az-Zumar: 67)

Allah subhanahu wa ta’ala juga memiliki wajah sebagaimana firman-Nya:

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah.” (Al-Qashash: 88)

“Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (Ar-Rahman: 27)

Dia tidak buta sebelah (picak) sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbicara tentang Dajjal:

“Sesungguhnya Dajjal itu picak dan Rabb kalian tidaklah picak.”

Dia tertawa terhadap hamba-Nya yang beriman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang seorang yang terbunuh di medan perang dia berjumpa dengan Allah subhanahu wa ta’ala dalam keadaan Allah subhanahu wa ta’ala tertawa kepadanya…”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah berkata:

“Termasuk dalam permasalahan iman kepada Allah: Mengimani apa yang Allah sifati diri-Nya dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Tidak mentahrif ataupun menta’thilnya. Bahkan aku meyakini tidak ada satu pun yang serupa dengan Allah subhanahu wa ta’ala dan Dia Maha mendengar dan Maha melihat…” (Dinukil dari A’lamul Mujaddidin hal. 95)

Masalah al-‘uluw (ketinggian Allah subhanahu wa ta’ala di atas)

Di antara keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah meyakini Allah subhanahu wa ta’ala ada di atas Arsy-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia beristiwa di atas ‘Arsy.” (Al-A’raf: 54)

Dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, ketika beliau hendak membebaskan budaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menguji hamba sahaya tersebut dengan menanyakan, “Di mana Allah subhanahu wa ta’ala?” Hamba sahaya tadi menjawab, “Allah subhanahu wa ta’ala di atas.” Beliau berkata, “Siapa aku?” Budak tadi berkata, “Engkau utusan Allah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Bebaskanlah dia, karena dia adalah seorang wanita mukminah.” (HR. Muslim)

Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan perkataan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan sanadnya, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ucapan tentang sunnah yang aku di atasnya dan aku lihat para sahabatku dari ahlul hadits di atasnya, dan aku telah mengambil ilmu dari mereka seperti Sufyan dan Malik serta keduanya adalah: Berikrar bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan Muhammad adalah utusanNya. Bahwasanya Allah ada di atas Arsy-Nya, dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana dikehendaki-Nya dan Allah turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” (Ijtima’ul Juyus Islamiyah)

Yang lebih jelas dari itu adalah ketika beliau meriwayatkan dalam bab membebaskan budak mukminah dalam bab zhihar. Beliau berkata:

“Yang lebih aku senangi, tidaklah dibebaskan kecuali yang telah baligh dan beriman, jika dia wanita ‘ajam yang telah disifati dengan keislaman maka cukup. Malik telah mengabarkan kepadaku, dari Hilal bin Usamah, dari ‘Atha bin Yasar, dari Umar bin Al-Hakam, beliau berkata: ‘Aku pernah datang kepada Rasulullah. Aku katakan: ‘Wahai Rasulullah, aku punya seorang jariyah (hamba sahaya wanita) yang menggembala kambing. Ketika aku mendatanginya, ternyata telah hilang seekor kambing. Ketika aku bertanya kepadanya, dia jawab bahwa kambingnya telah dimakan serigala. Akupun marah kepadanya. Aku adalah seorang bani Adam, hingga menempeleng wajahnya. Sekarang aku punya kewajiban membebaskan budak. Apakah aku boleh bebaskan dia?’ Rasulullah berkata kepada hamba sahaya tersebut: ‘Di mana Allah?’ Dia menjawab: ‘Di atas.’ Rasulullah berkata: ‘Siapa aku?’ Budak tadi menjawab: ‘Engkau Rasulullah.’ Maka Rasulullah berkata: ‘Bebaskanlah dia.’

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Nama orang tersebut Mu’awiyah bin Al-Hakam. Demikianlah diriwayatkan oleh Az-Zuhri dan Yahya bin Abi Katsir.” (Lihat Al-Umm)

Lihatlah! Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mensyaratkan dalam membebaskan budak harus yang mukmin, dan beliau menganggap pengakuan hamba sahaya tadi bahwa Allah subhanahu wa ta’ala ada di atas sebagai tanda keimanan.

Sikap Terhadap Sufi (Shufiyah)

Telah kami sampaikan di edisi sebelumnya[1] tentang siapa Sufi (shufiyah) serta pemikiran dan aqidah mereka. Telah kami paparkan juga ucapan-ucapan keras Al-Imam Asy-Syafi’i tentang shufiyah. Di antara ucapan beliau tentang shufiyah diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah dengan sanadnya: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, niscaya akan engkau akan dapati dia menjadi orang dungu sebelum datang waktu dhuhur.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah juga berkata: “Aku tidak pernah melihat seorang Sufi yang berakal. Seorang yang telah bersama kaum Sufiyah selama empat puluh hari, tidak mungkin kembali akalnya.”

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Asas (dasar) Sufiyah adalah malas.”

Demikian pula Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah sangatlah keras pengingkaran beliau terhadap shufiyah, dan ini merupakan perkara yang masyhur. Di antara buktinya adalah berbagai fitnah dan tuduhan zalim Sufiyah terhadap beliau rahimahullah.

Sihir

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Jika ada seseorang belajar sihir, kami katakan padanya: ‘Terangkan bagaimana cara sihirmu.’ Jika dia menceritakan cara yang menyebabkan kekufuran seperti yang diyakini penduduk Babil yang mendekatkan diri mereka kepada bintang-bintang yang tujuh, meyakini bahwa bintang-bintang itu bisa melakukan apa yang diminta, maka ini menyebabkan dia kafir. Jika dia meyakini bolehnya hal tersebut maka dia kafir juga.” (dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah banyak membahas permasalahan sihir dalam kitab-kitabnya. Beliau bawakan dalam Kitabut Tauhid beberapa bab berkaitan dengan sihir. Beliau bahkan memasukkannya dalam kitab Nawaqidhul Islam (Pembatal-pembatal keislaman). Beliau berkata:

“Pembatal keislaman yang ketujuh adalah sihir. Termasuk sihir adalah ‘athaf dan sharaf (sihir untuk membuat orang cinta atau benci). Barangsiapa melakukan sihir atau ridha kepadanya maka telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.” (Al Baqarah: 102)

Taklid

Taklid adalah perbuatan tercela, perbuatan kaum musyrikin. Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ menunjukkan rusaknya taklid. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.” “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170)

Ibnu Abdil Bar rahimahullah berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para imam di seluruh negeri tentang rusaknya taklid.”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah sangat mencerca taklid. Beliau rahimahullah berkata: “Kaum muslimin telah ijma’ bahwa barangsiapa yang jelas baginya Sunnah Rasulullah maka tidak halal baginya meninggalkannya karena ucapan seseorang.”

Al-Imam Asy-Syafi’i berkata juga: “Semua yang aku ucapkan dan menyelisihi ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah menyebutkan bahwa taklid termasuk perbuatan jahiliyah. Beliau rahimahullah berkata: “Sesungguhnya keyakinan agama orang-orang jahiliyah dibangun di atas beberapa landasan. Dan landasan utama mereka adalah taklid …” (Masa’il Jahiliyah)

Menggagungkan Sunnah Rasulullah

Mengagungkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kewajiban setiap mukmin. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah adalah seorang berpegang teguh dengan As-Sunnah. Beliau pernah berkata: “Semua hadits Rasulullah yang shahih maka aku berpendapat dengannya, walaupun hadits tersebut belum sampai kepadaku.”

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah meriwayatkan dengan sanadnya, bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah pernah ditanya tentang satu masalah. Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata begini dan begini.” Penanya berkata: “Apakah engkau berpendapat dengannya?” Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah gemetar dan memerah wajahnya, lalu berkata: “Celaka engkau. Bumi mana yang akan menampungku, dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian aku malah tidak berpendapat dengannya?!”

Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab rahimahullah menyebutkan dalam Nawaqidhul Islam termasuk pembatal keislaman adalah mengolok-olok apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:

“Keenam: Barangsiapa memperolok-olok sesuatu dari perkara agama yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau memperolok pahala dan siksa (yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka dia telah kafir. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala:

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At-Taubah: 65-66)

Dalam Kitabut Tauhid, beliau membawakan ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah: “Aku heran dengan suatu kaum yang telah mengetahui sanad hadits dan keshahihannya tapi malah mengambil pendapat Sufyan. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (An-Nur: 63)

Bid’ah

Di antara perkara yang harus dijauhi seorang muslim adalah perkara-perkara bid’ah, karena bid’ah banyak mudharatnya bagi seseorang. Di antara kerusakan bid’ah:

  • Bid’ah semuanya sesat
  • Bid’ah menjadi sebab tertolaknya amal
  • Bid’ah merupakan pintu kesyirikan
  • Bid’ah sebab terjadinya perpecahan

Oleh karena besarnya bahaya bid’ah, para ulama memperingatkan umat dari bahayanya, di antara mereka adalah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata: “Barangsiapa menganggap baik (satu perkara baru yang tidak disyariatkan) maka dia telah membuat syariat, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengingkari orang yang melakukan kebid’ahan dalam agama Allah subhanahu wa ta’ala:

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21)

Makna Membuat Syariat Yakni Membuat Bebid’ahan.

Demikian juga Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, beliau banyak menerangkan prinsip ini dalam kitab-kitab beliau. Di akhir kitab Fadhlul Islam, beliau membuat bab: Tahdzir minal bida’ (peringatan agar menjauhi bid’ah-bid’ah). Dalam risalahnya yang lain beliau berkata: “Aku meyakini bahwa semua perkara baru yang diada-adakan dalam agama adalah bid’ah.” (Lihat A’lamul Mujaddidin hal. 101)

Kesimpulan

Dari pembahasan ini kita dapat simpulkan bahwa dakwah yang dibawa oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah adalah dakwah para ulama Ahlus Sunnah yang mendahului beliau. Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah tidaklah membawa sesuatu yang baru. Perkara yang beliau dakwahkan sama dengan dakwah Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan ulama Ahlus Sunnah lainnya. Sehingga orang yang melecehkan dakwah dan aqidah Asy-Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab rahimahullah pada hakikatnya menghina dan melecehkan imam Ahlus Sunnah, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah. Mudah-mudahan Allah subhanahu wa ta’ala merahmati kedua imam tersebut karena jasa-jasa mereka bagi kaum muslimin. Amin.

[1] Lihat Majalah Asy-Syariah edisi 56.

Dikutip dari situs : https://asysyariah.com